Kali ini, kita berhadapan dengan tokoh Bima dan belajar darinya tentang makna seorang guru dan perannya dalam kehidupan kita..
Bima, adalah murid yang sangat patuh kepada gurunadinya, yaitu Sang Pandhita Durna. Sebagai seorang murid yang sangat menghormati gurunya, Bima bahkan bersedia melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak masuk akal sehat, hanya untuk memenuhi permintaan gurunya. Tetapi, Bima adalah seorang ksatria yang tidak hanya memakai rasa semata, tetapi juga memakai akal dan otaknya untuk mencerna berbagai hal yang diminta untuk dijalankan oleh gurunya. Berbagai permintaan gurunya itu, menjadikannya berpikir dan merenungkannya dalam-dalam, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa seorang guru memperlakukan dirinya seperti itu.
Perenungan yang dalam, hening, tenang, dan tidak direcoki hawa nafsu dan emosi; serta kepasrahannya kepada Gusti Yang Murbeng Jagat, membuat Bima disadarkan atas jati dirinya, atas baik dan buruk peri-lakunya, atas tanggung-jawabnya terhadap masa depannya, atas hubungan dan perannya dengan hati kecilnya, atas perannya sebagai seorang ksatria yang berdarma bakti utama, serta pemahamannya atas hubungan antara guru dan murid. Karena itu pula, permintaan gurunya yang sampai pada tahap tidak masuk akal sekalipun, dimaknai sebagai suatu petuah guru yang harus diturut, tetapi dalam konteks tidak diturut mutlak begitu saja. Karena itu pula, Bima tidak pernah menyatakan ‘tidak sanggup’ kepada gurunya. Dalam cerita yang manapun, Bima selalu mengatakan kesanggupan lebih dahulu dengan sepenuh hati dan tanpa keraguan sedikitpun. Setelah dijalani, barulah Bima membuat kesimpulan berdasar kerendahan hati, kebeningan hati, dan wawasan pengetahuan raga dan rasa yang menjadi bekal kehidupannya.
Meskipun akhirnya Bima juga sadar dan memahami bahwa Pandhita Durna sebenarnya hendak mencelakakan dirinya, tetapi ia tetap sangat menghormati Pandhita Durna sebagai gurunya. Kesadaran dalam hati nuraninya yang bening, menjadikan ia memahami, bahwa jika saja fatwa dan permintaan Pandhita Durna itu tidak pernah disampaikan kepadanya, maka ia besar kemungkinan ia juga tidak akan pernah menemukan jati dirinya. Bahkan, sangat mungkin ia juga tidak akan pernah bisa bertambah wawasan, kepandaian, dan ilmu pengetahuannya. Jadi, dalam pemahaman Bima, permintaan Pandhita Durna itulah yang membuat Bima akhirnya bisa menemukan jalan untuk menjadikan dirinya seorang ksatria berdarma utama, obyektif, dan tetap memakai kedua kemampuan (rasio dan rasa), yang dikaruniakan kepadanya oleh Yang Maha Menguasai Hidup dan Matinya…..
Sesungguhnya, Bima sudah berperan dan bertindak menjadi seorang ksatria berdarma utama dan sekaligus juga menjadi seorang mahasiswa yang mempunyai wawasan sangat terbuka, serta memakai dua kemampuan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya secara seimbang dan bijaksana.
Sekarang, cobalah kita bandingkan dengan diri kita sendiri. Sudahkah kita bersikap seperti Bima? Untuk membangun bangsa Indonesia, kita memerlukan berjuta-juta Bima, dan bukannya satu atau sekedar dua Bima semata. Guru atau dosen yang di mata khalayak muridnya dipandang sebagai orang yang selalu memojokkan dan membuat anda kepada sejumlah kesulitan, karena memberi tugas yang menyulitkan dan mungkin juga tidak masuk akal. Bagaimana sikap kita saat kita sudah dewasa sekarang?
Semoga kita semua bisa belajar dari seorang Bima, dan menjadikan kehidupan kita semua menjadi jauh lebih baik dan lebih bijak. Dan, bisa mengarungi badai di samodra kehidupan secara tegar, teguh, dan tanpa ragu-ragu sedikitpun. Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar