Dunia ini fana belaka, dan tidak terlalu penting dan sangat naif untuk membikin manusia berduyun jadi binatang serakah. ini bukan igauan. Maka sufi itu menguburkan badan rekanya sambil berkata, “Dia mati, Alhamdulillah…..
Dan kita sedemikian cinta kepada Dunia, para sufi
pun tidak membenci dunia: mereka cinta segala-galanya yang tersembur dari mulut ‘kun’ Tuhannya. Mereka jalankan sebaik-baiknya imanensi iradah-Nya, juga ditengah glamour peradaban ini: para sufi bersedekap, menatap yang dihadapanya dengan setengah terpejam (seolah ingin menangkap inti masalahnya), dan akhirnya terpejam sama sekali.
Tapi bola mata kita memandang dunia ini dengan mata terebelalak. Hidup adalah mereguk dan menikmati dunia setuntas-tuntasnya. kita kejar dari detik-kedetik, kita bukan makan untuk hidup, sebab kita tak pernah “cukup makan”. kita tak pernah “makan secukupnya” . tak pernah bisa. nafsu makan kita tak terbatas meskipun bisa dicegah oleh kondisi yang tak mencukupi. tingkat konsumsi kita terus menaik: tak cukup nasi dan air, tapi primer juga kebutuhan akan gengsi, simbol-simbol prestise yang biayanya sangat mahal dan tak pernah tercukupi. kita hidup untuk makan itu semua. Kita berikan untuknya hampir sepenuh dirinya. kita bekerja, sekolah, melacur, korupsi, menjilat, membebek, berkelahi, melucuti citra kemanusiaan, untuk makan itu smua. kita yang beragama, menjalankan sembahyang sebagai kewajiban, atau merupakan kebutuhan untuk medium berdo’a buat segala hal yang enak didunia ini, atau untuk memperoleh sorga.
Peribadatan adalah suatu alienasi, yang sebagai suatu sistem nilai dan sistem norma. Tidak cukup terintegrasi, terjabarkan dan terimplementasi ke dalam kenyataan hidup budaya. Materialisme menjadi tonggak ukuran kemana setiap acuan hidup difungsikan. Pendidikan, profesi, agama, kesenian, bahkan terkadang agama, dengan kadarnya sendiri2, mencerminkan hal itu. Anak-anak bersekolah demi suatu masa depan yang substansinya kekayaan dan status.
Seperti tak cukup waktu kita buat memikirkan bagaimana masa depan, bagaimana ngurus anak keturunan, bagaimana melesat dari dilema-dilema pembangunan, bagaimana mengatasi secara sendiri atau bersama2 proses kehancuran yanng dicapai oleh prestasi2 keduniawian kita sendiri. Mungkinkah di tengah itu semua kita berfikir lebih polos dan lebih berani tentang hidup dan mati? ditengah kesuntukan dan kerepotan masalah sehari2 yang semprawut tak teruraikan, mampukah kita sekadar mendengarkan saja ungkapan rekan kita: “…bagi kau yang berhasil memegang dirimu sendiri dan memilikinya didalam cinta Tuhan, hidup dan mati itu hanya suatu bahasa. selebihnya hanya sifat kealaman yang berbeda, tapi segalanya tak perlu dimabuki atau disedihkan, kecuali satu Titik di mata jiwamu itu. Hidup dan mati itu biasa2 saja, tetapi mencintai Tuhanlah sebenarnya hidupmu…..”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar