Laman


Other Posts >>

Sabtu, 19 November 2011

MBAH MANTEN

Hari ini perjalananku kembali di kampung moyangku, melewati jembatan ini terlintas kembali perjalananku 13 tahun yang lalu. ketika pak Naya adalah seorang bapakku, si tukang telor bebek keliling biasa. Jembatan ini membangunkan ingatanku ketika berada di keranjang telor di imbangi dengan telor sebelah kiri tergantung di boncengan sepeda unta, inventaris si Mbah Manten.

Betapa nakalnya aku, ketika kubuat anak kecil menangis di belakang sepeda bapak, dia duduk di boncengan balita yang tergantung di stang sepeda ibunya. sengaja selalu kujulurkan kepalaku dan lidahku sehingga dia ketakutan dan menangis tiada henti.

Si kang Naya Bapaku penjual telor bebek, yang tiap hari berkeliling dari kampung yang satu ke kampung lainnya. bersandal jepit selen, baju putih polos tak bermoif dan celana pendek bolong karena terlalu sering dipakai. wajah hitamnya penuh pengharapan, kakinya tak letih mengayuh sepeda menyebrangi sungai, menaiki pucuk desa. Siapa yang menyangka bahwa dia adalah cucu seorang Lurah yang amat di segani dan di cintai masyarakat di desa Karanggara. jabatan kakeknya tak sedikitpun membuat dia manja.

Si bapakku itu berjalan pelan menuruni jembatan pembatas desa, menyusuri pinggirpinggir kali yang surut airnya. sementara itu di seberang sana telah berjejer warga menantikan seikat receh dari si tukang telor. kulihat ketika mereka tersenyum haru menepuk punggung bapakku dan memberikan seikat sayur-mayur hasil panennya. di letakan sayur-mayur di jejer keranjangku. aku bertanya pada si bapak mengapa mereka berikan sayuran itu? bapak hanya menjawab, "itu karena  simbah :)"

Perjalanan berlanjut, terus dikayuh sepeda tua yang hampir patah pedalnya karena tak pernah berhenti bekerja. si tukang telor berhenti di gubug reot yang kukira sudah tak berpenghuni. seorang nenek keriput berjalan bungkuk membuka pintu, di bawanya seplastik telor bebek. kata bapak, nenek ini selalu menjual telor bebeknya pada bapak. aku masih di keranjang, bapakku langsung menghampirinya. nenek itu menangis sembari memeluk bapak. seperti ada sesuatu yang serius dibicarakan nenek, tak bisa kudengar apa yang mereka bicarakan. diletakan telor di keranjang sampingku lagi, bapak mengambil receh di saku belakang clananya, karna hanya tinggal satu satunya kantong di celananya yang masih utuh. di kayuh lagi sepeda tuanya. aku bertanya pada bapak, "mengapa nenek itu menangis?", bapak hanya menjawab, "itu karna simbah" . aku menjadi bingung dengan jawaban bapak, ku pejamkan mataku tapi tetap saja aku tak mengerti.
keranjang yang kunaiki lebih miring dari tadi pagi, ini menandakan bahwa telor telor di keranjang sebelah telah menjadi berat di banding beban badanku. adzan maghrib telah terdengar, semakin cepat sepeda ini dikayuh. sampailah di rumah simbah, di angkat aku dari keranjang, ku bawa masuk sayur-mayur yang diberikan warga tadi, dan bapak membawa sisa dagangannya

Kegelapan mulai menghampiri pekarangan belakng rumah kang Naya si bapaku baru selesai memilah telur besar,sedang,kecil dan yang pecah untuk di goreng sebagai teman nasi makan malam kami sekeluarga.Aku tak mengerti mengapa sore itu simbah meneteskan air mata sembari mengucap Alhamdulillah?  Bapak dan si bu Naya ibuku hanya diam terlihat di wajahnya sendu melihat rasa bersyukur simbah hingga meneteskan air mata

Kini kami telah duduk di depan tv, Rasa sukur yang terdalam masih terpancar jelas dari tatapan mata simbah yang biasanya tajam dan berwibawa, Hem gumam simbah memulai cerita,.... kini badanku sudah begini renta cu untuk berfikir jauh dan panjang apalagi mengingat meraka rakyatku yang kucintai, Aku telah mandito di pojok mushola reot ini untukmu dan semua rakyatku, Mbah saneb adalah janda tua yang dulu pernah di aniaya oleh anaknya sendiri karena terbelit hutang rentenir, aku tak bisa menyalahkan si anak karena dia terjerat rentenir demi usaha dan kelangsungan keluarga yang di dalamnya adalah mbah saneb, sedangkan simbah mempertahankan rumahpun tidak salah karena hanya tinggal itu tempat untuk berlindung, akhirnya ku jual sebagian bengkok lurahku guna membayar hutang si anak tukang ngamuk itu, Alhamdulilah si anak tukang ngamuk sekarang telah memiliki bebek begitu banyak hingga simbah saneb bisa hidup layak sebagai manusia, dan aku si lurah gembel tetap tidak menjadi kere, Tak pernah sedikitpun ku harapkan pemberian mereka tetapi ku harapkan sebaliknya, Taobat si rentenir untuk menolong adalah sebuah keikhlasan bukan membuat bunga mata uang menjerat leher yang dia akui sebagai pertolongan tetapi si pongah rakus itu tetap tak bisa menikmati dalamnya sebuah nikmat ikhlas ketika sebuah pertolongan ia lakukan.Lalu siapa lagi yang akan melindungi mereka semua saudara saudaraku yang ku cintai dari kemurkaan dan kekuatan keserkahan yang lebih kuat? Sedangkan Tuhan telah mereka gantikan dengan Uang, sabar mereka ujudkan dengan kemewahan, dan ikhlas mereka simbolkan dengan riya, Duh Gusti turunkan kekuatanmu, tunjukan kemampuanmu, wujudakan kemakmuran meraka.dan jangan jadikan cucuku yang sembrono ini sebagai orang kaya yang memiliki pedang dan uang tetapi harta  yang bernyawakan welas asih. Begitu simbah mengahiri gumamannya samibil memegang kepala kang naya si bapaku.aku rasakan begitu sayaangnya simbah pada bapaku yang ternyata si kang Naya ini adalah bapaku cucu simbah yang sama gembelnya dengan simbah.

Masih ku ingat pertanyaanku pagi itu pada simbah, 
Kalo dulu simbah pak lurah kenapa sekarang tidak sekaya pak manten yang rumahnya di pinggir jalan raya itu?
Dan kalo dulu simbah lurah terkenal kenapa tidak simbah tolong kang Naya bapuku itu yang jelas cucu simbah untuk mengabdi pada pemrentah yang katanya paling berkuasa?
Yut yut... sampean pancen ngeyel podo bapakmu pertanyaanmu iku koyo wong pinter wae,
ki tak kei ngerti yut...
Lah wong simbah dulu ki ngabdine ra karo duit tapi sama welas asih dadi simbah yo ga butuh dit
Lah bapakmu yang ngeyelnya dubilah mindalik iku senenge megawe ro wong  ndeso ndeso kui bukan sama bupati, coba kamu liat itu potongane wae gembel ngono iku
kini ku mengerti kenapa penduduk kampung begitu menyukai simbahku .................
Sambil berlari ku mencibir pada simbah....... walah simbaeh wae tukng ngeyel opo meneh buyute .............

...........................................................................................Uyut gembel...........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar